EkonomiNasional

Ketika Tengkulak Menentukan Nasib Petani, Perempuan Desa Jadi Korban Diam-diam

×

Ketika Tengkulak Menentukan Nasib Petani, Perempuan Desa Jadi Korban Diam-diam

Sebarkan artikel ini
Dialog yang membahas peran perempuan desa saat menghadapi tengkulak / Foto : Ist

KaMedia – Setiap musim panen datang, banyak petani seharusnya bisa tersenyum lega. Tapi kenyataannya, senyum itu sering berubah jadi rasa kecewa yang dalam. Karena harga panen yang mereka harapkan bisa menyejahterakan keluarga justru dipermainkan oleh tengkulak.

Kondisi ini sangat berdampak khususnya bagi kaum wanita. Para perempuan khususnya ibu rumah tangga dan istri petani yang harus berjibaku menjaga api dapur tetap menyala di tengah pendapatan yang terus menipis.

Tengkulak sering kali dianggap solusi cepat oleh petani. Mereka datang tepat waktu saat panen tiba, menawarkan pembelian dalam jumlah besar, dan membawa uang tunai. Tapi di balik itu, mereka juga menentukan harga seenaknya. Dengan alasan pasar sedang turun atau kualitas panen tidak bagus, mereka membeli hasil kerja keras petani dengan harga yang tidak sebanding.

Sementara petani tidak punya banyak pilihan. Akses ke pasar masih minim. Fasilitas penyimpanan tidak tersedia. Transportasi juga terbatas. Akhirnya, mereka menyerah pada kondisi untuk menjual murah demi bertahan dalam kehidupan.

Dampak dari permainan harga ini tidak hanya dirasakan oleh petani laki-laki. Justru, di balik layar, perempuanlah yang paling terpukul. Saat penghasilan suami tergerus tengkulak, para istri petani harus memutar otak: bagaimana mencukupi kebutuhan makan, membayar sekolah anak, hingga biaya berobat kalau ada yang sakit.

Bahkan banyak dari mereka yang ikut bekerja sebagai buruh tani, penjual jajanan, atau membuka warung kecil hanya agar penghasilan bisa bertambah. Semua itu dilakukan dengan beban fisik dan mental yang besar, tapi sayangnya sering tidak dianggap sebagai “kontribusi penting”.

Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Kehadiran PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) sebagai BUMN yang fokus pada sektor pangan dan pertanian menjadi salah satu upaya membenahi sistem yang selama ini timpang.

Dalam talkshow yang digelar sesaat setelah peluncuran PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero) pada pertengahan Mei 2025, di Jakarta, yang bertransformasi dari PT Yodya Karya (Persero), Direktur Utama PT. Agrinas Pangan Nusantara (Persero), Joao Angelo De Sousa Mota menegaskan bahwa Agrinas memiliki peran strategis, yakni mengintegrasikan rantai pasok hasil pertanian, membantu membangun ekosistem pertanian yang modern dan adil, serta menciptakan kemitraan antara petani, pemerintah, dan swasta.

Dalam konteks ini, Agrinas bisa menjadi penghubung langsung antara petani dan pasar, tanpa harus bergantung pada tengkulak.

Hadir pula sebagai narasumber talkshow yakni Dr. Alan Soffan, S.P., M.Sc., Ph.D. , Kepala pusat inovasi agroteknologi , Universitas Gajah Mada yang menjalin kerjasama dengan Agrinas, menyediakan bibit padi unggul yakni Gamagora 7, yang adaptif terhadap perubahan iklim dan tahan hama. Serta Kolonel Arhanud Blasius Popylus, S.I.P., M.H.I. – Tenaga Ahli Produksi pangan PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero), yang akan bertanggungjawab atas proyek perdana Agrinas di Baturaja, Sumatera Selatan, yang bekerjasama dengan TNI, menggarap 11.000 hektare sawah, sebagai langkah “quick win”.

Tak ketinggalan seorang petani mandiri, seorang anak muda yang memilih untuk kembali ke sawah dan mendirikan SAGA Farm, Putro Santoso Kurniawan.
Masalah tengkulak bukan cuma soal harga. Ini adalah cerminan dari sistem pertanian kita yang belum adil. Dan selama tidak ada pembenahan menyeluruh, ketidakadilan ini akan terus menimpa perempuan di desa. Karena itu, perempuan harus dilibatkan secara aktif dalam skema ini. Mereka bukan hanya “penerima manfaat”, tapi juga harus dilibatkan sebagai pengelola koperasi, pelaku UMKM hasil tani, hingga bagian dari komunitas pelatihan agribisnis.

Jika Agrinas benar-benar berjalan sesuai visi ini, maka harapan untuk petani dan terutama para perempuan desa tidak akan lagi hanya angan-angan.

Karena di balik nasi yang kita makan hari ini, ada tangan-tangan perempuan desa yang tak pernah berhenti bekerja dan berharap. Mari kita dukung mereka, bukan hanya dengan empati, tapi juga dengan kebijakan dan sistem yang berpihak.